Refleksi Santri Talk: Santri adalah Bibit Perdamaian Berbuah Rasa Aman

Jakarta, NU Online Sebagai bagian dari usaha untuk menyemai bibit perdamaian, Qultura Institute bekerja sama dengan Initiative of Change Indonesia menggelar diskusi virtual bertajuk Santri sebagai agen perdamaian, Sabtu (26/4). Acara ini dibuat oleh santri, dari santri, untuk santri dan Indonesia.

Dalam kalimat pembukanya, Miftahul Huda, Ketua Hubungan Internasional PP IPNU tahun 2009-2011, mengibaratkan peran santri seperti jembatan yang menghubungkan dua titik yang terpisah. Santri memiliki kekuatan untuk menjadi jembatan yang dalam konteks sosial, santri adalah penyambung antar satu komunitas dengan komunitas lain, antar satu etnis dengan etnis lain, antar satu agama dengan agama lain. Bahkan, antar satu bangsa dengan bangsa lain.

Huda menyebut Gus Dur sebagai contoh ideal peran santri yang mampu menjadi jembatan yang kokoh.

“Beliau menjadi pembela sejati kaum minoritas, dan membangun hubungan yang baik dengan lintas etnis, lintas agama. Termasuk jasa besar beliau dengan menjadikan etnis Tionghoa mendapatkan pengakuan sejajar dari negara,” katanya.

Bahkan, peran santri dalam menjadi agen perdamaian sudah diakui di tingkat internasional. Indonesia kini menjadi kiblat perdamaian dunia, dan NU bersama Muhammadiyah menjadi dua ormas besar yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai kiblat perdamaian dunia, di tengah ratusan bahkan ribuan perbedaan yang ada di negara kita tercinta.

“Tentu tidak semua santri bisa menjadi jembatan penghubung. Seorang santri harus memiliki modal keilmuan, keimanan, dan keislaman yang kokoh untuk mampu memerankan peran tersebut di masyarakat. Seorang santri harus mewarnai dan mengambil peran dalam masyarakat. Bukan justru membangun tembok pemisah dengan warga karena status santri yang menempel pada seseorang,” tambahnya.

Menjadi santri juga menurutnya adalah tentang menjadi diri sendiri, jujur, dan apa adanya.

“Kita tidak mencitrakan diri kita paling suci dan benar. Justru tanggung jawab kita adalah kita bisa mewarnai dan menjadi bagian dari masyarakat. Bukan justru membuat gap dengan masyarakat. Santri bisa menjadi bagian dari solusi untuk masyarakat. Kalay kita menganggap diri kita suci, kita malah menjaga jarak dengan mereka,” ingatnya.

Sementara Taufiqurrohman Hs, peserta diskusi alumnus Pesantren Darul Amal Metro Lampung mengatakan, sebagai generasi yang lahir dari sebuah rumah besar bernama pesantren, santri memiliki peran yang istimewa sebagai agen perdamaian.

“Ibarat seorang petani, santri memiliki peran penting untuk menyemai bibit-bibit perdamaian. Buahnya adalah rasa aman, rasa tentram, dan sifat saling mengasihi dalam kehidupan masyarakat,” katanya.

Salah satu karakter santri sebagai penyemai bibit damai, menurut dia, adalah sikap yang terbuka dan menghargai pandangan yang berbeda. Dalam perdebatan di media sosial, para santri yang memiliki sikap kesantrian sejati seringkali lebih terbuka dan lebih elegan dalam menyampaikan gagasan.

“Meski memiliki sikap yang kokoh atas sesuatu tidak membuat seorang santri tertutup dan menghardik pandangan yang berbeda, baik itu keagamaan, keilmuan, maupun dalam gagasan politik yang ramai akhir-akhir ini,” tegasnya.

Pendapat menarik disampaikan peserta lain, Irfan Amalee. Menurutnya, anak-anak muda NU berhasil menjadi inspirator dalam menciptakan konten-konten damai di medsos. Situs-situs keislaman yang digawangi oleh anak-anak muda NU berhasil mewarnai corak pemikiran Islam Indonesia yang moderat.

Salah seorang peserta lain, Idham Effendi, santri NU yang tengah menempuh pendidikan PhD di salah satu kampus di Inggris menegaskan, santri sudah terbiasa ditempa dengan beragama kondisi di pesantren.

“Jauh dari orang tua, hidup serba mandiri, bergaul dengan beragama corak pemikiran keislaman, hingga pergaulan yang luas dengan beragam komunitas. Bekal ‘adaptabilitas’ ini yang menyebabkan santri memiliki modal yang sangat potensial untuk menjadi motor perdamaian di masyarakat,” tegasnya.

Tantangan Santri ke Depan
Dalam diskusi yang diikuti via aplikasi zoom yang diikuti oleh dua santri di Amerika, satu santri di Thailand, satu santri di Inggris, satu santri di Madura dan selebihnya di Jakarta ini juga didiskusikan tantangan kaum santri di era saat ini.

Salah satu yang menjadi tantangan kaum santri, khususnya dari kalangan nahdliyin, adalah mendobrak stigma bahwa kaum santri hanya mahir dalam bidang keagamaan. Hal itu wajar karena lulus pesantren seringkali diidentikkan dengan peran-peran keagamaan yang dipegang oleh santri. Hal itu tentu saja bagus dan bahkan positif.

Namun, tantangan ke depannya adalah bagaimana para santri ini mampu mewarnai corak keilmuan lain di luar bidang keislaman. Penguasaan bahasa asing menjadi salah satu tantangannya, terutama kemampuan berbahasa Inggris. Keilmuan keislaman yang mumpuni tanpa didukung oleh kemampuan kebahasaaan yang cukup membatasi ruang-ruang dakwah hanya untuk komunitas sendiri.

Seperti disampaikan oleh salah seorang peserta yang tengah menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Ruang-ruang dakwah di Amerika sebenarnya membutuhkan narasi-narasi damai sebagaimana diajarkan di banyak pesantren di Indonesia. Kekosongan ini kemudian diisi oleh para tokoh agama yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmu keislaman yang kuat. Tetapi, memiliki kemampuan bahasa yang mumpuni.

Tantangan lainnya adalah kemampuan santri dalam mewarnai sektor-sektor penting di luar bidang keislaman. Para santri harus mampu berdiaspora di berbagai sektor sehingga manfaat yang dihasilkan lebih meluas.

Sebagai anak yang dilahirkan dari rahim pesantren, para santri tentunya siap menguasai berbagai bidang keilmuan. Sudah bukan zamannya lagi peran santri dibatasi dalam ruang-ruang keagamaan saja. Ada ruang dakwah lain yang juga perlu sentuhan khas santri di masa mendatang.

Salah satu kekuatan santri adalah tempaan pola pendidikan santri yang bisa menjadi duta-duta dakwah di lingkungan yang berbeda. Perdamaian juga banyak aspeknya. Santri harus mampu menjadi mediator konflik dalam tingkatan apapun, baik itu level masyarakat. Bahkan, level keluarga.

Di momen Ramadhan yang sunyi ini, saatnya para santri menjadi agen-agen perdamaian yang dimulai dari keluarga. Saatnya para santri menerangi rumah dan keluarga dan membawa pesan damai yang bermula dari keluarga.

 

Sumber : nu.or.id